Tepian jendela, tempat tinggal debu dan tanda-tanda bagaimana waktu berlalu—dan berlaju. Angin lembut menyibak tirai sesaat setelah jendela terbuka. Seolah memangil-manggil, debu meloncat ke sebelah mata gadis yang baru saja membuka jendela itu dan perihlah matanya hingga berair, mengalir di jarinya yang tengah mengusap. Sesaat, matanya membuka kembali dan sesuatu tengah hinggap di pinggir jendela itu. Sebuah amplop yang ditempeli selotip, mungkin sudah disiapkan agar tidak jatuh ketika jendela dibuka dan akan terlihat oleh pemilik kamar. Sesuai harapan, kini amplop itu berada di tangan Malya, gadis pemilik kamar.

Malya baru saja selesai mengganti baju dan sedikit merias diri mengandalkan lampu kamar yang masih menyala sejak semalam. Semalaman bergelut dengan novel tebal untuk menemani insomnia, ternyata membuatnya tergesa seperti pagi ini. Ia tak terbiasa memakai alarm hingga tak menyiapkan diri jika kesiangan, bahkan sampai menunda kebiasaannya untuk membuka jendela. Ia harus segera bersiap, sebab ia punya janji untuk pagi di hari liburnya ini.

Malya membuka amplop bertuliskan namanya itu, sebuah kertas yang diketik rapi. Tak ada nama pengirimnya, namun pembuka surat itu nampak menarik perhatiannya. Nalurinya sebagai perempuan feminim, kalimat yang dirangkai secara tak biasa membuat dia tertarik untuk membacanya. Kursi di teras depan rumahnya menjadi pilihan untuk membaca surat itu, seraya menanti seseorang yang akan menjemputnya sesuai janji. Matanya mulai membaca kata-kata yang tertambat.

***

Kepada,
Yang sebenar-benarnya hendak kuhinggapi.
Dan hati, dan mimpi.

Kalaulah bukan sekedar kata-kata, mungkin aku sudah mengirimkan hujan padamu.

Jika mundur sekian tahun ke belakang, maka akan kau temui siklus yang masih tulus. Bulan-bulan berakhiran –ber adalah bulan dingin. September ceria, hembus angin dan nyanyian katak mungkin jadi alasannya. Oktober dan halloweennya, november dan hujannya, serta salju di acara-acara televisi menanda desember tiba, waktu untuk membayang apa-apa yang terlewat telah.

Tapi jangan anggap kata sekedar adalah bualan. Kau tentu tahu apa itu basa-basi, bukan? Ya, barusan itu sedikit salam pembuka untukmu. Hujan yang begitu kusuka, angin yang begitu kumakna, serta laut dan aksaranya, adalah sejumlah kata yang mungkin bakal kau temui beberapa paragraf ke bawah. Satu lagi, senja yang begitu kudamba. Dan kaulah mulanya.

Aku yakin kau sudah paham kalau ini adalah sebuah surat. Aku sendiri tak berani memastikan, apakah ini surat cinta atau bukan. Mungkin lebih tepatnya, ini surat kagum atau surat suka. Sebab kau juga pasti sadar, pertemuan kita baru beberapa kali saja, dan itupun hanya sekedar. Tapi jika sewaktu-waktu jadi cinta, aku pasrah.

Jujur saja, kalau waktu memiliki wujud yang tak absurd, aku sudah mencubitinya dengan gemas, mencakar-cakarnya dengan kuku-kukuku yang pendek, atau menjambaknya sambil kesal dengan unsur kegemasan.

“Bukankah itu ekspresi perempuan?” Kuharap kau tidak bertanya seperti itu, ya? Sebab bagiku tidak ada manusia yang mutlak feminim dan mutlak maskulin. Ada saat laki-laki bersikap seperti perempuan dan sebaliknya. Maklumlah, waktu memberiku kejutan—kau. Mungkin ekspresiku seperti itu karena suatu kegilaan wajar dari orang yang jatuh cinta (padamu). Ah, maksudku jatuh kagum—jika ada. Bagaimana denganmu?



Di awal, aku mengatakan mau mengirimkanmu hujan. Bukan apa-apa, tak lain karena aku suka hujan. Hujan punya banyak arti, bukan? Banyak penyair suka memunculkan hujan dalam puisinya, ada yang mengatakan hujan itu pedih, rindu, bahkan anugerah sekaligus derita. Tapi tak berarti aku suka bermain hujan-hujanan setiap hujan datang. Aku sering masuk angin kalau terlalu lama kena hujan. Mataku akan memerah-memerih, tubuh menggigil, sesekali bersin. Setelah itu aku akan berbaring, dan membungkus diri dengan selimut seperti lemper (jangan ditertawakan, ya).

Mungkin, nanti kau akan melihat hujan sebagai aku. Setiap hujan kau mengingatku, bukan berarti setiap hujan aku turut jatuh dari langit. Tentu berisiko kalau ribuan diriku yang berbobot puluhan kilogram ini jatuh. Malah kau akan mengusirku karena telah menghancurkan atap rumahmu, atap kamarmu, merusak pemandanganmu.

Sekarang, bagaimana aku bisa mengagumimu? Adalah waktu menuntunku untuk menurut ketika harus berlibur di pulau seberang—tempatmu berada. Andai aku mengenalmu sejak dulu, tentu tanpa diminta aku akan bersiap sesiap mungkin. Aku tak menyangka hari itu adalah sebuah awal, awal dari kau yang manis dan aku yang suka melamun hal sadis-sadis dipertemukan.

Bukankah kita cocok?

Acara makan-makan senja itu adalah saksi, namun kupakai saja senja sebagai saksi umum. Lebih puitis. Kau duduk menghadap ke mejaku, aku duduk agak menyamping. Sengaja agar aku bisa melihatmu yang membuatku penasaran sejak aku melihatmu pertama kali di sana. Kau menangkap mataku beberapa kali mencuri pandang, itu juga sengaja. Hanya kesadaranku yang lain sudah berenang di laut, tempat kita bertemu memang di pinggir laut. Wangi angin, wangi laut, degup ini kian kalut. Kau tahu?

Sesuai benakku, kita berjabat tangan, saling menyebut nama. Sepertinya, matahari senja yang terkenal indah itu salah terbenam. Justru ke matamu. Camar di hatiku, mendadak terbang ke mana-mana, ah.. tapi aku tak berani menatap matamu lama-lama, nyaliku sudah ditekan debar-debar dan desir-desir di dada. Jantungku seperti gendang mendendangkan lagu India, lalu tiba-tiba kita menari-nari di lapangan di depan rumah kita. Ya, kita. Ternyata kau tetangga!

Kita tak bertetanggaan langsung, ada rumah lain di antara rumah kita. Seolah dinding. Positifnya, aktivitasku yang aneh-aneh, gayaku jika di rumah, atau suaraku ketika bernyanyi tak kau tahu secara langsung. Paling tidak, kau pelan-pelan akan penasaran denganku. (Soal nyanyian, percayalah suaraku lumayan. Kapan-kapan aku bernyanyi untukmu).

Jika menjaga rahasia orang lain, aku tentu akan menjaganya serapat mungkin, kau bisa percaya padaku. Hanya untuk rahasia sendiri, kau bisa tertawa. Tentang aku padamu, sebentar saja sudah ada yang tahu. Mungkin aku cocok menjadi pemimpin, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Mengutamakan rahasia umum daripada rahasia sendiri. Miris.



Yang kuingat, waktu kita bertemu lagi esoknya. Itu pertemuan sebelum aku benar-benar tidak bertemu denganmu lagi. Aku bahkan belum sempat mengobrol, ataupun menanyakan kontakmu. Aku suka duduk di teras rumahku, menengok ke arah rumahmu sesekali, berharap kau ada di luar. Jika pergi, rumahmu yang kuperhatikan. Jam sepuluh pagi, lampu terasmu belum dimatikan. Apa kau sedang ke luar kota?

Untunglah kita sempat berfoto, setidaknya aku masih bisa menyimpan perasaan ini hingga batas kadaluarsa yang tertera di sebuah entah. Meskipun baru kusadar, kamera yang dipakai adalah kameramu. Bisakah kau kirimkan foto waktu itu? Tenanglah, tukang pelet yang kukenal tidak ada yang handal. Hehehe.. salam canda, aku suka kau apa adamu (lakukan pulalah padaku).

Aku sudah hampir tidak ingat lagi suaramu yang tak terlalu kudengar karena suara degup jantungku lebih kencang waktu itu. Tapi aku ingat mata dan senyummu, sangat istimewa dan memikat untukku. Setuju? (Jika banyak laki-laki yang tak setuju akan lebih baik lagi, berarti mereka ciut mendekatimu).

Begitulah. Waktu yang mempertemukan, waktu pula yang menyuruhku pulang. Setidaknya surat ini membukti bahwa tidak ada yang sia-sia. Kita akan bertemu lagi dan aku memilih mimpi sebagai gladi bersih untuk pertemuan berikutnya. Dan surat ini mungkin akan kucetak untukmu, menyelipkannya di dalam sabun dan kukirimkan padamu. Ayo.. berapa lamakah sampai kau temukan suratku ini? Hahaha..

Kusudahi dulu, ya? Kupikir sudah terlalu panjang untuk kesimpulan hatiku yang singkat. Dan ketika aku benar-benar jatuh cinta. Akan ada surat yang amat lebih dari ini.
Kusertakan kau pada doaku, terima saja ya? (maksa). Semoga kau tak menyesal kukagumi.

……….
Salam dariku,
Pencinta rindu, pencinta kamu.
(pengagummu, maksudku)

***

Sebuah senyum melengkung dari bibir Malya, ia menarik napasnya dalam-dalam dan menahannya sebelum akhirnya dihembuskan, seolah membebaskan semua udara yang sejak tadi dikekangnya. Ia tersipu, sesekali melirik ke arah rumah di sebelahnya. Telah diketahui siapa yang begitu bisa membuatnya tersenyum sendiri pagi-pagi. Siapa sangka, lelaki yang menjadi tetangganya selama ini diam-diam memendam perasaan padanya.


Seseorang membuka pintu, keluar seorang lelaki membawa sebuah buku. Tak jauh dari sana, Malya memperhatikannya. Lelaki yang mengiriminya surat baru saja keluar dan duduk di teras rumah, sama seperti yang dilakukan Malya. Sesekali ia menangkap mata lelaki itu tengah menjurus padanya. Dan jika sudah begitu, salah satu dari mereka memulai saling menyapa dengan melempar senyuman.

Deru mesin yang halus terdengar, sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan rumah Malya. Spontan Malya berdiri dan berjalan ke arah mobil, nampak seorang laki-laki menanti di dalam. Orang yang ditunggu Malya untuk menjemputnya sejak tadi telah tiba, kekasihnya sendiri. Di samping pintu mobil, Malya terdiam sejenak hendak melihat lagi tetangga yang sedang membaca atau mungkin berpura-pura membaca buku sambil sesekali melirik Malya. Malya menghela napasnya lagi, lalu masuk ke dalam mobil.

“Sekembalinya aku, akan datang rayuan balasan untukmu, hai tetangga.”

Mobil berlalu pergi.
READ MORE - Surat untuk tetangga