Gadis,
Jikalau engkau seumpama bidadari, mungkin aku tiada setuju. Mereka meninggali nirwana, sedang kau lahir suci dari rahim jejak surga di muka dunia fana. Dan aku memujamu melebihi bidadari, mungkin karena aku tak pernah bertemu wujud jelita tak terperi. Tapi jika mereka paling bercahaya, dirimulah yang paling membuatku tak berdaya.

Gadis,
Segala kurangmu adalah pelengkap kekuranganku. Sesunyi surga Adam tanpa sang hawa, sesenyap malam tanpa siang. Dan engkau sempurna, tak kupeduli segala oceh, mereka hanya tak memiliki mataku hingga selalu saja berucap remeh. 

Gadis,
Mungkin aksaraku tak ada artinya untukmu. Namun bayangmu yang hadir kala ku menyusun kata, sungguh membuat aku hingga nyawaku gugup terbata-bata. Selaksa mimpi yang menjadi nyata, terpadu baku pada selangsa maya tanpa kabur semata.

Gadis,
Jujur aku mencintaimu. Cinta yang peluh menggagahi imajiku hingga menganakkan untai kata yang terangkai lembut. Aku bukan pujangga yang romantis, dirimulah yang begitu puitis. Sebab aku hanya menyalin puisi ini dari mata dan hatimu.

Gadis,
Jika kau bermekar hati membaca curahan ini, adakah kau petik cinta dan kau sematkan pada sela hatimu? Aku menyayangimu, beriring gugah rasa yang kuramu.

Gadis,
Ini untukmu
Untukmu

........

Aku menekan tombol lanjutkan dan memastikan nomormu yang tampak, lalu aku mengirim kata-kata itu padamu. Kuharap kau menerimanya, membaca, menyimpan, dan membalasnya dengan terbuka untukku.

Meski sesungguhnya aku tak tahu apa-apa tentang pesan ini yang ternyata tak sempat kau baca, sebab telah dihapus dari ponselmu, oleh kekasihmu.