ada suara tertelungkup di balik daundaun kering yang bergugur lalang dalam tengah rinai angin. terbawa hembuslah ia pada dua hati, dimana salah satunya telah bersiap beradu mati. siapalah lagi ialah aku, tiada mampu mencegah pilu yang kau muntahkan. pula baris air mata rahasia, mengurut pelan sehujan tanya mengabur mentarimu di balik sana.

sudahlah kau menangisi air matamu. dan cukuplah kau buat aku mendengar jerit dalam bibir yang kau tutup rapat. aku menanti senyummu, bermekar meraut madumadu rindu memadu dayu satu haru. 

menggulirlah embun di kelopak lily, tercipta dari bulir air matamu. memantul bayangku, mencermin hati mencadar sesal yang kian cela. kukatakan, aku disisimu menyeka peluh yang turun pada pipi dan bibirmu. kukatakan, aku merindumu tak jauh selayak dedaunan di musim gugur yang pelan tercabut dari pancang sang ranting. melayang jauh membawa rumpun kenang dan nanti pucuk memori baru. dan kukatakan, aku mencintaimu sebagai seutuh-utuh kau kubiarkan menemukanku di balik belukar hati tiap kau butuh, pun hendak kau cari cinta yang kusimpan dibalik sesaga bumi entah kala terkuras lelautan dan menjinak amarah badai. 
kukatakan,
selalu. 

(akhirnya kau hentikan isakmu, turutlah senyummu itu melengkung buat setumpuk pelangi malu)

dan kuseka air matamu yang tersisa, terima kasih kau hentikan cemasku. maka sebutlah rindu padaku, nantilah di sepasang jendelamu hadirku, membawa bongkah bintang yang kucuri dari ranah nirwana. bersama peluk yang menyayat ragu

menangis kau sekali lagi, bibirku yang membungkammu!

--
Malang, 151109
Andi M E Wirambara