Radit menurunkan kedua tangannya dari atas meja, memasukkannya ke dalam kantong kanan dan kirinya. Matanya begitu yakin, sebuah kotak kecil terangkat oleh jemari-jemarinya. Secarik kertas yang terlipat rapi menyertainya bersama pita kecil mempermanis tampilannya.

“ Na, kamu masih nggak percaya sama kata-kataku barusan? Kenapa begitu raut mukamu? Aku...aku bener-bener suka sama kamu, dan..dan ini buat kamu, aku berharap kamu terima aku dan kita jadian..”. Radit menyodorkan bingkisan kecil itu di atas meja di depan Viona duduk. Dan Viona tak bersuara sedikit pun setelah seperempat jam lalu Radit menyatakan perasaannya di pojok kantin kampus yang memang paling sepi. Viona hanya tertarik pada carik kertas yang terlipat di sana. Dan air mukanya tetap sama, nampaknya tak ada lagi otot wajahnya yang bergerak saat ini, atau mungkin telah terputus.

-------o0o-----

*-Raditya-

Viona, aku begitu sadar apa yang kulakukan. Aku rela melakukan apapun untukmu. Memang mustahil kau langsung percaya padaku yang mengucapkan ini padahal baru seminggu lalu kita berkenalan. Ya, baru seminggu! Tapi aku sudah menyimpan perasaan ini jauh berpuluh minggu sebelum itu. Dan aku merasa telah cukup membuatku nyaman padaku, kita cepat sekali akrab, dan kupikir hanya perlu proses untuk membuat kita saling cinta, dan telah terjadilah proses itu. Bukan tidak mungkin, waktu sesingkat itu kau sudah memiliki perasaan yang sama padaku.

“ Na, gimana?? Ngomong donk...”. Sekali lagi aku ingin mendengar jawabannya, mungkin aku sedikit paranoid dengan apa yang nanti akan kau ucapkan, Viona. Sebenarnya aku tahu segala resiko. Kau bukan gadis murahan, parasmu begitu cantik, yang kau miliki adalah segala yang dicari oleh lawan jenismu, dirimu begitu terkenal, dielu dan dengan entengnya kau memikat berpasang mata laki-laki, baik di kampus, atau ditempat kau memijak kaki di mana di sana ada kaum Adam yang insting jantannya bicara, bukanlah hal yang mudah. Namun perlu kau tahu, aku tak kalah piawai dalam menjerat gadis yang bersileweran di sekitarku. Dan bukan sombong, para gadislah yang mengatakan aku nyaris sempurna untuk mereka, berdehem sedikit saja, begitu banyak yang mencoba melirikku penasaran, aku mengerti diriku, jelas aku tahu itu hal yang wajar. Kini aku memilihmu, dan karena berbagai alasan barusan aku begitu percaya diri untuk bisa dekatimu, memang sejak jumpa pertama aku sudah menyukaimu. Hanya saja, naluri pikatku terkalahkan oleh senyummu yang mampu mematahkan nyali.

“ Aku....”
Akhirnya Viona bersuara! Sejak tadi ia hanya membisu saja, membeku, kumohon...... tak ada sulitnya mengatakan “iya” padaku.

“ Dit, aku lebih menghargai kata blak-blakan tulus daripada suatu kalimat yang tersusun begitu romantisnya namun palsu! “.
“ Apa maksudmu? Aku sudah begitu membuatmu untuk yakin bahwa aku ini benar-benar tulus! “ Aku tak ingin kalah dari Viona.

“ Ini puisi yang buat si Edo kan?? Juga puisi-puisi atau kata-kata roman de es be ge yang kamu kasih ke aku itu dari dia kan?
Plis deh, apa bales budi kalian yang selalu manfaatin dia??“ Dan kata-kata Viona barusan membungkamku.

Bagaimana ia tahu kalau Semua itu dari Edo? Apakah Edo memberitahukannya?

Viona mengeluarkan ekspresi kesal dan kecewanya. Ia adalah gadis yang sangat menghargai usaha orang lain, termasuk memperhatikan mereka yang mencoba menarik hatinya. Viona bisa dikatakan perfeksionis, namun tak ditepis dia adalah cerdas! Sungguh cepat membaca situasi dan pintar berkelit lidah

--o0o-

*-Viona-


Mereka benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun dia itu manusia juga, risih juga kalau terus-terusan melihat dia dalam keadaan terus dimanfaatkan. Edo, mungkin dia memang masih seumuran denganku atau Radit, namun statuslah yang membuat semua seperti ini. Ia memang sering ku lihat di kampus, namun bukan sebagai mahasiswa, melainkan seorang tukang bersih-bersih di lingkungan kantin fakultas ini. Pagi sehari-harinya menjajakan koran di perempatan lampu merah dekat gerbang masuk kampus ini. Siang hari barulah ia mulai mengepel lantai kantin, meja, membersihkan lainnya. Ia mengumpulkan uang untuk menghidupi diri, ibu dan seorang adik kecilnya. Dia sendiri adalah perantau yang mencoba mengadu nasib di kota ini.

Aku begitu memperhatikannya, bukan berarti ada suatu perasaan yang mendera bagiku, aku hanya begitu terenyuh pada dirinya. Dan tiap kali aku ke kantin yang selalu membuatku penasaran adalah tatapan matanya, entah sejak kapan hal itu dimulai. Pastinya dia selalu menatapku sayu, akupun keherananan. Aku sudah biasa menghadapi lirikan mata, ekspresi maupun percobaan para laki-laki untuk menjeratku lewat pandangan mata. Tapi kau Edo, nampaknya begitu rumit untukku pahami. Dia begitu diam, karena itu aku balik memperhatikannya.

Lalu siapa sangka? Edo adalah lelaki yang puitis, ia pintar berpuisi, tak kusangka dari jari-jari kotornya ia mengalirkan kata indah dalam tuangan tinta di muka carik kertas. Konon ialah pembuai yang tersembunyi, tersingkaplah teka-teki laki-laki yang mendadak romantis di sini tak lain adalah dengan goresan-goresan manis Edo, akupun baru saja mengetahuinya.
........
Ada lagu
Di bolabola matamu
Dan selalu kurasa merdu menatap syahdu
Tatapanmu
Ada belati
Di senyummu
Dan tak terhitung lagi telah
Berapa hati yang kau tebas, sedang aku ikhlas untuk
Kau matikan sekalipun
Ada sepotong waktu
Sekosong hatimu kini
Tak keberatan kau aku yang akan mengisinya?

............

Bait itu kubaca dari carik kertas dalam bingkisan kecil Radit, hampir dapat kutebak isinya tak jauh dari cincin, gelang atau anting. Padahal aku hanya begitu tertarik pada puisi yang tersemat di sana. Ya, tak lain karena aku tahu siapa pembuatnya. Begitu banyak puisi yang mengalir untukku, tapi semua kuperhatikan, semakin lihai aku mempelajari karakter puisi yang diberi untukku, tentang siapa yang membuat dan lainnya, kemiripan terdapat di sana, dan yang khas, adalah kata-kata senjata tajam yang aku lihat selalu hadir di sana. Edo, benar-benar khas dari seorang Edo.

Aku sendiri kasihan pada Edo, mahasiswa di sini begitu memanfaatkan kata-katanya hanya untuk bisa menggombali kekasihnya. Mungkin hanya itu yang umum diketahui, tapi bagaimana jika Edo selalu objek pelampiasan kemarahan? Tak sedikit laki-laki yang ditolak menyalahkan puisi Edo. Edo tak berdaya terlebih ketika dijadikan pelampiasan dalam bentuk fisik, kerontang tubuhnya bisa remuk oleh injak dan bekas tendangan mereka. Kupikir Edo adalah seorang yang cerdas. Tentu dia tahu, posisinya tak mungkin untuk melawan, atau mungkin Edo terkikik saja mendengar ‘klien’nya ditolak. Dan Edo adalah kambing hitam kesayangan mereka. Dan kini, aku berhadapan dengan Radit, salah satu brengsek itu.

“ Viona! Bicara!! “. Radit mengejutkanku

“ Kamu mau aku bicara apa? Kamu yang harusnya menjawabku! “

“ Apa maksudmu?? Tentang puisi itu?? Hah! Konyol sekali masalah itu dirumit-rumitkan. Nggak ada alasan lain apa?? Diam-diam kamu brengsek juga ya.....

PLAKKK.............!!!!!!!

Ups, nampaknya kau sudah salah bicara, aku sudah tak mungkin lagi ingin meladeni lama lelaki sepertimu dengan emosi yang sama-sama naik. Semoga telapak tanganku yang mendarat di pipimu barusan cukup untuk menutup perbincangan kita hari ini.

“ Na! Kemana!! “ Ah, siapa yang mencegahku pergi? Aku tidak dengar!!

“ Na !! “ Radit mengejarku, menangkap lenganku. Tentu saja kewajibanku untuk memberontak.

“Na, sorry, aku tadi lagi emosi, lagi khilaf. Maaf, tapi jangan seenaknya pergi gitu dong.”

“ Apa sih kamu? Memang aku siapanya kamu? Berani betul ya melarang-larang. “

Aku melenggak lari ke mobilku, mengunci, dan segera meninggalkan tempat itu. Membuang waktuku saja. Tak peduli Radit yang nampaknya akan malu menjadi bahan tontonan orang-orang di kantin barusan. Di dalam mobil, aku membuka carik

kertas tadi, membacanya lagi. Puisi Edo dari Radit hari ini akan menambah koleksi puisi Edo yang ku punya.

--o0o--


Kantin telah tutup, hanya Edo di sana, membersihkan kantin sebelum dia benar-benar menutup dan mengunci kantin tersebut. Remaja ini benar-benar rajin menjalankan pekerjaannya, tidak ada yang tahu jelas tentang dia, lebih tepatnya tidak ada yang tertarik mengetahui dia jauh selain dia adalah tukang bersih-bersih kantin. Itu saja. Dan Edo sendiri pendiam, jarang berkomunikasi dengan orang lain. Sebenarnya dia bisa membuat orang penasaran, ia misterius, namun kepalanya terisi oleh kata-kata yang siap ia kait dan baitkan.

TAP....TAP....TAP......

Suara langkah kaki mendekati Edo, secara reflek Edo pun berbalik.

DUAKKK !!!! hantaman keras melayang di wajah Edo, hidungnya mengeluarkan darah.

“ Woi! Gembel! Maksud kamu kasih tahu macam-macam ke Viona itu apa?? “ Geram Radit seraya membunyikan jari-jarinya.

“ Ma..maaf, tapi aku ga ngerti apa....”

DUUKKK !!!!!

Satu lagi pukulan menghantam Edo, dan tidak ada lagi percakapan setelah itu, Radit hanya terus melampiaskan emosinya pada Edo, dan mungkin kali ke tujuh Edo mendapatka ini, bukan hanya dari Radit, Dia sudah menerima yang seperti ini dari beberapa laki-laki lain yang senasib ditolak oleh seorang Viona. Dan Edo tak berdaya, ia terkulai. Ia tak mampu membalas, dari fisik saja ia bukan orang yang mampu berkelahi, meski ia sendiri tumbuh dengan kehidupan yang begitu keras. Sepertinya hatinya terlalu lembek untuk orang sepertinya. Puas Radit menganiaya, ia pun pergi, entah kemana.

....

Temaram bulan muncul bersama bintik-bintik bintang. Ada selangsa di balik langitnya. Siul-siul angin begitu membelai rusuk, mencengkramnya, lalu mengikisnya sedikit demi sedikit.

Viona membuka pintu rumahnya. Ia tinggal sendiri dengan mengontrak rumah di kota ini yang dekat dengan kampusnya. Nampaknya hari ini ia sangat lelah dengan kejadian yang merepotkannya. Seharusnya Viona suda terbiasa dengan ini, namun tentu, jika terus-terusan akan merasa jenuh dan bosan juga untuknya.

UMMPPHH !!!!!!

Telapak tangan itu menahan nafas-nafas Viona dari hidung dan mulutnya. Viona memberontak, namun tidak berpengaruh apa-apa, Viona tersigap.

“ Ummhh !!! Hummmmpphh !!! “ Tak peduli dengan Viona yang mencoba melepaskan diri, pemilik telapak itu merebut kunci dari tangan Viona, membuka pintu rumah Viona, masuk bersama, dan dihempaskanlah Viona di sofa rumahnya. Viona berbalik, terkejut.

CKREK...

Dan lelaki itu mengunci pintu, entah apa yang akan dihadapi Viona kali ini, malam ini...
-------o0o-----
UMMPPHH !!!!!!

Telapak tangan itu menahan nafas-nafas Viona dari hidung dan mulutnya. Viona memberontak, namun tidak berpengaruh apa-apa.

“ Ummhh !!! Hummmmpphh !!! “ Tak peduli dengan Viona yang mencoba melepaskan diri, pemilik telapak itu merebut kunci dari tangan Viona, membuka pintu rumah Viona, masuk bersama, dan dihempaskanlah Viona di sofa rumahnya. Viona berbalik, terkejut.

....

*-Viona-

Hidungku sakit, jari-jari itu kasar sekali menutup mulut dan hidungku, dan siapa? Menghempasku di sofa. Yang jelas, aku tak tahu ada apa ini? Dan ini situasi buruk! Buruk!

Aku mencoba menoleh, ingin tahu siapa dia. Astaga!

Tiada yang mampu kuucapkan, bahkan hatiku pun. Aku kenal mata itu, pandangan itu, dan ia berdiri di depanku setelh mengunci rumahku. Air mataku sekilas turun cepat, tidak! Aku benar-benar sudah panik! Sangat panik! Belum pernah aku mendapat situasi seperti ini, dan Edo! Ialah yang ada di sini sekarang. Dengan memar di wajahnya. Entah siapa lagi yang telah melampiaskan amarahnya pada lelaki malang ini. Tapi aku tak tahu, apa alasan ia di sini! Apa mau ia di sini! Aku menutupi depan tubuhku dengan tas, menaikkan kakiku dan menekukkan lutut, mencoba bersiap dengan kemungkinan buruk.

Edo terus mendekatiku, langkahnya normal meski nampak gontai, dan ia benar-venar berhenti di depanku. Tepat didepanku!

“ kamu siapa?? Mau apa kamu ?? “

Edo tetap diam, ia menatapku sayu, tapi itu yang membuatku takut, dan kata-kataku tak bisa keluar, aku sangat takut, aku panik, aku hanya bisa bersikap defensif, itupun tanpa berfikir lagi.

“ ah...ka..kamu Edo kan?? Aku tahu kamu, kamu yang biasa bersih-bersih di kantin itu kan?? “ Aku mencoba mencairkan situasi.

Tidak! Edo seperti boneka yang bergerak! Ia tidak peduli apa yang aku ucap! Entah kerasukan apa dia! Tapi ia makin mendekat....aku tak tahu lagi harus apa.

“ Kamu Edo kan?? Yang puitis itu? Yang selalu dimintai membuat puisi laki-laki brengsek di kampus untuk menggoda merayu perempuan? Aku tahu kamu? Dan kamu perlu tahu, puisi dari mereka yang kau buat itu aku kumpulkan! Aku juga tidak tahan terhadap mereka! Aku menyukai apa yang kamu buat untukku! “

Kali ini aku tak tahu harus berkata apa lagi, dan kata-kataku barusan, menghentikan langkah Edo, tapi matanya bertambah sayu, sendu. Kupikir ia juga menyukaiku, aku hanya bertaruh saja, semoga kata-kataku barusan menyelamatkanku dan keluar dari ini.

SREK.....

Air mataku kini sudah tak teratur lagi jatuh, Edo tak mendengarku. Ia melanjutkan langkahnya, aku takut...takut.... Edo sudah sangat dekat berdiri di depanku, dan ah ! Aku tahu sekarang! Ia tidak menyukaiku, ia bukannya tertarik padaku! Justru sebaliknya, ia mungkin marah padaku, atau dendamkah? Tapi apakah aku biang dari sengsaranya selama ini? Kupikir tidak, bukan hanya aku, ia sering dimintai puisi oleh para brengsek untuk perempuan lainnya. Tapi bagaimanapun itu aku tak mengerti! Edo mengeluarkan sesuatu dari celananya.

“ Edo! Maksudmu apa?? Jangan!! Jangan !! “
*hening*

................................
--o0o--

Ruangan remang itu bergempita, makin malam makin benderang. Manusia-manusia menikmati malamnya di sana, di antaranya adalah Radit, ia baru saja meneguk wine-nya. Radit mengacak-acak rambutnya, ia benar-benar stress! Dapat dimengerti, Viona adalah orang yang benar-benar ia cintai, dan ia merasakan penolakan pertamanya, oleh Viona sendiri. Hanya gara-gara puisikah?? Radit membingungkan itu, hal konyol baginya yang tidak masuk akal sama sekali. Dan ia di sini mencoba melampiaskan beban batinnya, sepertinya tak cukup menghajar habis Edo untuk pelampiasan yang ia pikir Edo lah penyebabnya.

Radit melangkah ke mobilnya dengan galau pikir yang belum juga berkurang kadarnya. Ia memutuskan pulang.

Di tengah perjalanan ia mendadak ingin bertemu Viona sekali lagi, ia ingin mendatanginya. Radit mengambil handphonenya, mencari nomor Viona yang berbaur di kontaknya, memanggilnya.

.......

Orang-orang berkumpul, dengan sendirinya membentuk lingkaran, polisi mencoba mengatur massa, petugas kesehatan bergegas meringsek menyibak ramai di sana. Mengangkut lelaki tak bernyawa itu, dengan simbahan darah mengucur di tubuhnya.

Nampaknya Radit benar-benar telah mabuk, tak lama setelah menekan nomor Viona, ia tak sanggup menyeimbangkan kesadarannya, mobilnya oleng tak terkendali, masuk ke jalur sebelah yang berlawanan, dan melesatlah kencang truk dari sana. Terjadilah.

Radit tak lagi bernyawa, tubuhnya remuk, mobilnya pun ringsek, namun handphonenya, tergletak namun tetap hidup, masih dalam mode “memanggil Viona”.

--o0o--

“ Puisi pun mati....”

Malam ini bulan menutup matanya, isaknya terdengar di sudut waktu. Tiada yang pilu melenggak sendu kala kucur darah mengacungkan jari tengahnya pada ruh. Angin menggelengkan kepalanya, ia makin memaki nyawa-nyawa yang berseliweran dalam tubuh-tubuh hina.

Edo menatap diam, ia menatap diam pisau di genggamannya, pisau dan tangannya telah bernoda, di pucuknya menarilah darah. Tak lain milik Viona. Entah bagaimana rigannya pisau itu menghujam vital tubuh Viona. Tapi yang ia tahu, telah pergi mahkluk manis di depannya. Ia tertunduk, bagaimanapun ia laki-laki, ia seorang puitis yang perasa. Ia begitu memuja wanita, ia juga memuja puisi, baginya wanita yang ia puja adalah puisi. Dan satu puisinya telah pergi, entah ia melepas atau justru mengusirnya.

.....

*-Edo-

Siapa yang memerintahmu untuk membunuhnya? Aku masih tak percaya pada pisau yang kugenggam ini, pada jemariku yang menggenggamnya, juga pada pikiranku yang buta, pergi tanpa pamit saat itu.

Jujur, aku terkejut kala kau mengatakan kau suka puisiku, dan kau tahu akulah yang membuat puisi-puisi yang akhirnya diberikan lelaki jalang lain yang mencoba merayu, menggoda, dan mendekatimu. Dan yang tentu ku ingat adalah kepal Radit yang ku terima tadi, salah satu yang menyalahkan puisiku. Bisa kutebak kau mematahkan hatinya telah, Viona. Sejak tadi aku menyumpah untuknya menjadi sampah busuk berbaur dengan para laknat dyang terkutuk.

Aku berpikir, mungkin kau akan mengiraku yang brengsek ini membencimu, dendam padamu, dendam pada brengsek yang menghajarku satu persatu. Mungkin benar, tapi jika sesederhana itu, begitu payah hingga aku melepas nyawamu.

Maaf, aku sungguh tak bermaksud untuk ini, sebab..... sebab kau adalah puisi! Aku menyukaimu, aku menyuratimu dengan puisi tulusku meski bukan dariku langsung. Jika kau memang cerdas, mungkin kau tahu pesanku di sana. Aku menyertakan kata-kata senjata tajam pada setiap puisiku.

aku ingin membunuhmu dengan segenap hati dan tulusku
kujilati darahmu penuh rindu
dan kuludahi jenazahmu dengan segala romantika ala pemuja
izinkan aku membedah mesra tubuhmu
kucuri cuilcuil hati yang kau punya, kubongkah, kurengkuh dan kupeluk erat dalam tidur. lalu aku memimpikanmu, indah...
(hingga mungkin cuilcuil ini tidak akan pernah kukembalikan, kapanpun..)


Ah....bukan berarti aku benar-benar ingin membunuhmu. Aku begitu memujamu, membuatmu mati, berarti membunuh puisiku. Tapi aku menyadari, sadar akan diriku yang hanya mampu sebatas menatapmu, itu saja. Entah mengapa batinku menyuruh ini, kita begitu berbeda dan kuyakin tidak ada yang bisa menyamakan kita. Kau begitu sempurna dan aku begitu hina. Andai terus begini, mungkin aku akan terus tersedak oleh mimpi-mimpi palsu. Aku menyukaimu, beriring gugah rasa yang kuramu.

Tapi aku tak mau menyalahkan diri, bukankah kau yang bisa berterima kasih padaku? Sebab tak lagi kau diunduh dilema yang mengecupmu. Aku menatap raga kosongmu, matamu masih terbuka, membelalak. Mengapa kau menatapku seperti itu? Marahkah kau padaku? Aku tahu aku salah, tapi...

Aku mengoret kata dengan kurang ajarnya di lantai rumahnya, dengan kucuran segar darahnya, jemari pun bergumam.......

Dan puisi pun mati
Tiada pujangga yang mampu merangkainya lagi
Waktu adalah kelopak kemboja
Entah kepada siapa ia menghampiri
Kala tercabut dari tangkainya

Dan puisi pun mati
Tanpa sanggup lagi nafasku berbunyi


Aku didera sesal, pilu yang teramat sangat. Kutatap lagi matanya, kuturunkan kelopak matanya, aku tak sanggup menahan air mataku, aku menangis, air mataku benar-benar mengalir deras, sekali lagi aku tak mau menyalahkan diri, kumaki pisau yang masih dipeluk jemariku. Sekali lagi kukatakan, aku masih tak berhenti menangis, tak henti...

Pertanyaanku padamu yang mungkin tak akan kudengar jawabmu, adakah dengan maafku, kau akan memaafkannya? Dan biarkan mayatku menari-nari di bibirmu?

Pisau di genggamanku nampak tertunduk, dan ia berbicara lagi...

--o0o--

KRRIINNGGG...... !

Handphone Viona berdering, meringkus sunyi di sana. Pada layarnya tertulis dari siapa telepon itu. Radit, Radit yang tak lagi hidup, dering panggilan dari handphonenya seolah hendak berpamit, hendak mengabarkan ia akan dikafani esok, dan berharap semua melayatnya, baik yang senang maupun benci padanya.

Namun dering itu tiada yang mengangkat, baik Edo, terlebih Viona, handphone itu masih berdering. Namun dua mayat yang tergeletak di sana, sudah tak mungkin lagi mendengarnya.... apalagi peduli.

.
.
T A M A T
.
.