NALIA

Jika diibaratkan olimpiade, maka dalam rangka mencapai atau mendapatkan hati gadis pujaan, disediakanlah empat medali untuk laki-laki.

Ya, empat, bukan tiga. Medali yang bernilai paling tinggi tentu saja emas. Medali ini hanya disematkan untuk laki-laki yang mendapat hati pujaannya tanpa perlu menyatakan cinta, justru pujaannyalah yang “menembaknya” lebih dulu. Wajar jika disebut pencapaian tertinggi. Lalu ada medali perak, laki-laki yang dikalungi medali ini pantaslah berbangga dan berpuas menikmati debar-debar hatinya, sebab medali ini menandai diterimanya ungkapan hati. Medali ketiga mulai agak pilu, peraih perunggu. Diberikan untuk mereka yang pernyataan cintanya dijawab dengan diam—sehari, seminggu, sebulan, berbulan-bulan—tanpa jawaban pasti. Dan tingkat terbawah dengan hasil paling tragis, ditolak (entah mentah-mentah atau secara halus dan lembut), berhak mendapat medali yang paling miris. Medali aspal!

Andai ruang kejujuranku digeledah, akan kautemui koleksi medaliku. Sebuah medali emas, dua buah perak, dan satu medali perunggu. Medali aspal? Ah, mungkin ini memalukan, namun faktalah yang bicara tentang empat medali paling berdebu itu juga masuk dalam daftar koleksiku. Eit! Jangan berprasangka aku tak laku dulu, empat medali terkutuk itu kuperoleh dari gadis yang sama: Nalia.

Tak ada perempuan paling membingungkan selain Nalia. Entah berapa deret laki-laki yang dilempari medali aspal ke wajahnya—termasuk aku. Tak ada perbedaan berarti antara Nalia dengan perempuan manis lain yang berseliweran di keseharian dan pergaulanku. Entah sikapnya yang mudah akrab atau apalah, yang pasti aku jatuh cinta sunguh-sungguh padanya! Ya, cinta! Bukan jatuh suka, terlebih jatuh naksir. Maka dengan bodohnya aku rela ia banting hatiku. Berkali-kali.

Sekarang aku berencana melakukan kebodohanku yang berikutnya, yaitu mengutarakan perasaanku lagi, menyatakan cinta dan berharap Nalia menerimanya. Meski pedih juga jika kujenguk-jenguk lagi empat medali aspalku yang dulu. Apakah Nalia akan menolakku lagi dan memberikanku medali aspal kelima sepanjang aku menjalani kisah cinta? Mungkin sudah cukup jumlah aspal itu menutupi wajahku yang sudah terlampau malu, lalu aku berbaring di jalan dan terlindas truk yang mengiraku bagian dari aspal jalan, lalu aku mati dengan tragis, kemudian arwahku gentayangan. Ah, bagaimana jika saat aku menggentayanginya, ia tengah berkencan, jalan-jalan, atau makan berdua dengan lelaki yang berhasil mendapatkan hatinya? Bagaimana jika saat itu aku cemburu melihatnya? Rasanya aku mau mati saja, bunuh diri!

Eh, apa orang yang sudah jadi hantu, boleh mati lagi? Boleh bunuh diri?

***

“Jadi..” ucapku gugup.

“Jadi apa?”

“Aku suka kamu, lagi-lagi aku suka kamu. Jadi..”

Air muka Nalia makin datar dan sayu. Kupikir ia tak perlu terkejut karena ini sudah kelima kalinya aku mengungkapkan ini padanya. Perlahan aku mencium bau yang tak mengenakkan. Bau aspal. Suatu kebetulan yang hebat, ada bau aspal sungguhan dari jalanan di depan warung bakso tempat kami berada. Ada proyek perbaikan jalan untuk memuluskan kembali jalan yang sebelumnya retak-retak sedikit. Entah pertanda atau semacam ejekan buatku, apakah hari ini aku pulang dengan medali aspal lagi? Aku terus membaca wajah Nalia. Ah, susah! Terlalu cantik! Bisa gila terpana aku kalau begini. Kulanjutkan saja.

“Jadi…an sama a..”

“Stop sampai situ, Yanda. Jangan lebih dari itu.”

Seperti baru saja Tim Densus 88 mendatangi tempat bakso ini dan langsung menodongkan senjatanya padaku. Dadaku berdetak sungguh hebat, semakin cepat dan semakin ringan tak terasa. Mungkin aku sudah tak punya jantung lagi. Napas yang kutarik-hembus-tarik-hembus begitu berat. Kelopak mataku berkedip dengan berat. Mulutku terangkat, bergetar, bergetir dan nyawaku serasa terkuncir lalu keluar pelan-pelan lewat hidung, bertukar pelan-pelan dengan bau aspal. Aspal, aspal, dan aspal! Aku menyesal membuat teori medali ini.

Delapan bulan lalu, acara Festival Seni dan Budaya di Gedung Tambun Bungai menjadi awal pertemuanku dengan Nalia. Aku mengisi acara drama. Di ruang ganti, sekelompok gadis penari dengan pakaian adat khas Kalimantan Tengah bersiap tampil. Salah satunya sungguh menarik perhatianku—mungkin juga laki-laki lain di sana. Mataku tak lepas dan sesekali ia juga melirikku.

“Mana menurutmu paling cantik, Yan?” tanya Haris, partner dramaku sesaat setelah para penari meninggalkan ruang ganti dan naik ke atas panggung.

“Gadis-gadis tadi?” Haris mengangguk.

“Hm.. menurutku yang paling depan.”

“Rambut panjang itu?” gantian aku yang mengangguk.

“Bagus juga matamu, Yan.”

“Kamu kenal dia?”

“Iya, namanya Nalia..” Ternyata namanya Nalia! Setelah ini, aku akan mengajaknya berkenalan lalu mencoba mendekatinya, “..dia pacarku,” sambung Haris. Musnah harapku.

***

Pada akhirnya, aku berkenalan dengan Nalia—dikenalkan oleh Haris, kekasihnya sendiri. Aku membiarkan dia memanggilku dengan nama panggilan, tanpa embel-embel ‘Kak’ di depannya. Lucu, baru permulaan langsung diberi cobaan. Lucu kuadrat, dua hari setelah perkenalan itu, Haris dan Nalia mengakhiri hubungan mereka—diproklamirkan melalui status dan pemberitahuan facebook. Memang, pertengkaran mereka juga terasa sampai ke situs jejaring sosial tersebut seolah mereka tidak ada masalah jika diketahui banyak orang.

“Cukup, kunyatakan berakhir! Semoga bahagia, dadah!”

Status yang ditulis Nalia inilah penanda kepastian berpisahnya mereka. Dalam sekejap, beruntun muncul komentar-komentar yang didominasi oleh laki-laki berlagak menghibur Nalia. Aku mengambil handphoneku, mengirimkan SMS kepada Nalia. “Sekarang, boleh aku maju?”

Tak perlu waktu lama untuk dekat dengan Nalia. Hanya untuk merengkuh hatinya, tak secepat itu. Selang dua bulan aku mencoba menyatakan perasaanku untuk pertama kali padanya.

“Maaf, Yan. Aku lagi nggak mau pacaran.” Itu adalah penolakan perdana untukku. Sungguh, tak ada yang lebih menggelisahkan dari ini. Akhirnya aku berkesimpulan, kalau mungkin ia masih trauma dengan Haris.

“Aku mau serius belajar dulu,” sekali lagi aku luruh, dua bulan setelah penolakan pertama. Ia memang masih SMA waktu itu dan akan ujian akhir. Aku (coba) maklum.

“Kita berteman aja ya, Yanda,” kalimat untuk kali ketiga medali aspal tergantung di leherku sebulan setelah medali kedua kuraih dan sehari setelah Nalia selesai ujian.

“Jangan sekarang.” Jujur, alasan ini paling abstrak. Tanpa kelanjutan dan aku terlalu hancur untuk menanyakan lanjutannya.

Dan kini, di warung bakso ini, Nalia menolakku lagi. Sungguh, aku iri dengan Haris dan penasaran bagaimana ia bisa mendapat hati Nalia. Aku memalingkan pandangan dari mata Nalia yang sayu.

“Nalia, mau kutemani pulang?”

Nalia menggeleng.

Hujan mendadak turun.

***

Palangka Raya. Memang wajar jika kota ini dikandidatkan sebagai calon ibukota negara. Daerah yang masih dilintasi garis khatulistiwa dan bercuaca cukup panas ini sebenarnya punya teritorial yang luas. Hanya jarangnya bangunan dan populasi penduduk yang sedikit membuatnya tidak terlalu tampak sebagai sebuah ibukota provinsi, dibanding kebanyakan kota lain di luar Jawa. Namun tak bisa diremehkan soal kotanya yang ditata rapi dan matang. Jalan yang lebar, bersih, serta adanya bundaran di persimpangan jalan membuat kota ini minim potensi untuk macet. Suasana natural begitu kental, masih banyak ditemui hutan dan daerah hijau, begitupun lahan kosong yang hanya dihuni ilalang. Sayangnya, kadang terjadi pembakaran lahan—kebanyakan saat kemarau—hingga musim asap terjadi dan mengganggu aktivitas serta kesehatan warga. Jika sudah begitu, senyumlah yang terkembang saat hujan turun.

Aku dan Nalia masih duduk berhadapan, tanpa bicara. Aku beberapa kali memalingkan wajahku saat Nalia menatap ke arahku, mungkin juga Nalia tengah membaca raut paling kusut dari pernyataanku yang ia potong tadi.

“Yanda,” panggilnya lembut seraya tersenyum. Aku hanya membalas senyumnya. Sungguh, aku tak bisa berkata.

“Hujan gini jangan cemberut dong, aku suka lho dengar suara hujan. Apalagi kalau di rumah, aku suka nengok ke jalan dari jendela,” Nalia mencoba menghiburku atau lebih tepatnya mengalihkan obrolan. Aku masih diam sambil mengikuti Nalia memandangi jalanan di luar. Memandangi hujan yang turun. Ingin rasanya aku berlari ke arah itu, menyatukan hujan dengan airmataku yang turun, ingusku yang juga turun, dan kecewa yang ikut turun. Mungkin setelah ini, berat badanku akan ikut turun.

“Kamu tak suka hujan, Yan?” Tanya Nalia setelah sekian tanya darinya kujawab dengan diam. Aku suka hujan, Nalia. Suka! Tapi sekarang apa yang harus kusampaikan padamu? Mulutku masih tertutup rapat.

Hujan turun makin deras tanpa ampun menghujam genting. Kami diam, Nalia sesekali menggigiti jari lentiknya.

“Yan, foto rame-rame kita di Tangkiling kemarin sama kamu ya? Lihat dong..” Nalia memecah hening kami lagi. Kukeluarkan laptop kecilku kemudian menyalakannya.

“Ini. Tinggal tunggu nyala aja,” akhirnya aku bisa bicara, sambil menyodorkan laptopku pada Nalia.

“Eh, kok?” Nampak keheranan dari wajah Nalia.

“Kenapa, Nalia?” Nalia tersenyum seperti menahan tawanya. Ia memutar laptop dan memperlihatkan layarnya ke hadapanku. Nampak foto Nalia mengenakan kaos biru yang sedang duduk dan tersenyum manis di sebuah bangku dari batang pohon. Habislah aku.

“Wah, aku jadi wallpaper laptopmu. Jadi tersanjung,” ucapnya antara canda dan sindiran.

Aku salah tingkah, mungkin wajahku sudah memerah.

“Boleh pinjem HP kamu, nggak? Pasti wallpapernya bagus.”

Aku bungkam.

***

Sungguh, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Sudah terlampau banyak kebodohan yang kutunjukkan. Bahkan setelah aku resmi mendapat medali aspalku yang kelima. Kupikir cukup sudah, seharusnya aku bersyukur Nalia tidak menjauhiku.

Nalia masih sibuk dengan laptopku, sesekali tersenyum sambil melirik ke arahku, sesekali kedua alisnya nyaris bertemu memperhatikan foto-foto di sana. Aku memutar-mutar sedotan di gelas es jerukku yang tersisa seperempatnya. Denting es batu dan gelas terdengar meski kalah dengan deru hujan yang mulai memperlambat temponya, menunjukkan tanda-tanda reda.

“Foto-fotoku yang sendirian di mana, Yan?”

“Di folder yang satunya, kupisah sama yang lain.”

“Wah, sampai dapat tempat eksklusif.”

“Kamu di mana-mana selalu eksklusif, di hatiku juga,” godaku sambil menjulurkan sedikit lidahku.

“Mulai deh..”

“Tidak keberatan, kan?”

“Nggak kok, Yan..”

Sesaat, hujan seperti semakin melambat, atau tepatnya nampak seperti mengerem mendadak. Langit masih gelap dan wangi hujan yang khas naik mulai ke udara.

“Nalia, hujannya sudah reda, tuh.”

Nalia mengangkat wajahnya yang terfokus ke monitor, lalu menoleh ke luar. Mendadak datang lagi suara air yang beradu dengan daun-daun. Semakin kencang dan kian kencang. Rupanya hujan tadi hanya jeda sebentar lalu melanjutkan serangan rinainya jilid kedua.

“Yah, hujan lagi.”

“Nggak bisa ditebak. Persis kamu, Nalia.”

“Haha.. apanya yang nggak bisa ditebak?”

Entah kenapa aku merasa tak perlu menjawab pertanyaannya yang satu ini. Jujur saja, tiba-tiba aku merasa kesulitan menjawab pertanyaannya.

“Yanda jadi pendiam, ya.”

Entah kenapa aku merasa seperti orang bodoh dan payah. Lagi-lagi aku menjawabnya dengan senyum kebingungan.

“Aku suka banget lihat cowok kebingungan.”

Hah? Entah apa maksudnya.

“Oh iya, tawaran temenin pulang tadi masih berlaku, nggak?” Sontak aku terkejut, mengangguk. Sangat cepat.

“Kalau tawaran jadi pacar, masih?”

Kali ini aku ternganga, tersenyum heran. Leluconmu terlalu gila untuk hatiku, Nalia.

“Kok nggak jawab?”

Aku harus menanggapi apa? Kau mengerjaiku?

“Atau aku yang ngomong. Yanda, mau jadi pacarku, nggak? Aku kecewa lho kalau ditolak. Aku nggak mau ekspresiku sama dengan ekspresimu yang sudah lima kali kutolak.”

Aku menggelengkan kepala, heran tak percaya. Mulutku megap-megap seperti ikan di aquarium. Entah aku harus menanggapi apa. Kulihat Nalia memandangku seraya memegang sisi laptopku dengan tangannya. Lalu mendadak memutarnya ke arahku.

“Taraaa…!!!”

Di monitor, nampak foto kami berdua yang seingatku diambil saat kami di Bukit Tangkiling beramai-ramai. Hanya yang nampak kali ini, foto telah diberi hiasan bingkai. Rupanya sejak tadi Nalia mengedit foto kami. Satu lagi, yang membuat mulutku kian lebar membuka.

“NALIA & YANDA” Tulisan yang diterakan di sebuah gambar balon kecil berbentuk hati di pojok bawah foto. Sungguh, sampai kini aku tak mengerti. Tak mengerti.

“Yanda, jangan tolak aku, ya?” Nalia melemparkan senyum lembut padaku. Senyum yang tulus.

Hei! Bisakah kau lihat medali emas bersinar-sinar di dadaku sekarang?

READ MORE - NALIA

Surat untuk tetangga

Tepian jendela, tempat tinggal debu dan tanda-tanda bagaimana waktu berlalu—dan berlaju. Angin lembut menyibak tirai sesaat setelah jendela terbuka. Seolah memangil-manggil, debu meloncat ke sebelah mata gadis yang baru saja membuka jendela itu dan perihlah matanya hingga berair, mengalir di jarinya yang tengah mengusap. Sesaat, matanya membuka kembali dan sesuatu tengah hinggap di pinggir jendela itu. Sebuah amplop yang ditempeli selotip, mungkin sudah disiapkan agar tidak jatuh ketika jendela dibuka dan akan terlihat oleh pemilik kamar. Sesuai harapan, kini amplop itu berada di tangan Malya, gadis pemilik kamar.

Malya baru saja selesai mengganti baju dan sedikit merias diri mengandalkan lampu kamar yang masih menyala sejak semalam. Semalaman bergelut dengan novel tebal untuk menemani insomnia, ternyata membuatnya tergesa seperti pagi ini. Ia tak terbiasa memakai alarm hingga tak menyiapkan diri jika kesiangan, bahkan sampai menunda kebiasaannya untuk membuka jendela. Ia harus segera bersiap, sebab ia punya janji untuk pagi di hari liburnya ini.

Malya membuka amplop bertuliskan namanya itu, sebuah kertas yang diketik rapi. Tak ada nama pengirimnya, namun pembuka surat itu nampak menarik perhatiannya. Nalurinya sebagai perempuan feminim, kalimat yang dirangkai secara tak biasa membuat dia tertarik untuk membacanya. Kursi di teras depan rumahnya menjadi pilihan untuk membaca surat itu, seraya menanti seseorang yang akan menjemputnya sesuai janji. Matanya mulai membaca kata-kata yang tertambat.

***

Kepada,
Yang sebenar-benarnya hendak kuhinggapi.
Dan hati, dan mimpi.

Kalaulah bukan sekedar kata-kata, mungkin aku sudah mengirimkan hujan padamu.

Jika mundur sekian tahun ke belakang, maka akan kau temui siklus yang masih tulus. Bulan-bulan berakhiran –ber adalah bulan dingin. September ceria, hembus angin dan nyanyian katak mungkin jadi alasannya. Oktober dan halloweennya, november dan hujannya, serta salju di acara-acara televisi menanda desember tiba, waktu untuk membayang apa-apa yang terlewat telah.

Tapi jangan anggap kata sekedar adalah bualan. Kau tentu tahu apa itu basa-basi, bukan? Ya, barusan itu sedikit salam pembuka untukmu. Hujan yang begitu kusuka, angin yang begitu kumakna, serta laut dan aksaranya, adalah sejumlah kata yang mungkin bakal kau temui beberapa paragraf ke bawah. Satu lagi, senja yang begitu kudamba. Dan kaulah mulanya.

Aku yakin kau sudah paham kalau ini adalah sebuah surat. Aku sendiri tak berani memastikan, apakah ini surat cinta atau bukan. Mungkin lebih tepatnya, ini surat kagum atau surat suka. Sebab kau juga pasti sadar, pertemuan kita baru beberapa kali saja, dan itupun hanya sekedar. Tapi jika sewaktu-waktu jadi cinta, aku pasrah.

Jujur saja, kalau waktu memiliki wujud yang tak absurd, aku sudah mencubitinya dengan gemas, mencakar-cakarnya dengan kuku-kukuku yang pendek, atau menjambaknya sambil kesal dengan unsur kegemasan.

“Bukankah itu ekspresi perempuan?” Kuharap kau tidak bertanya seperti itu, ya? Sebab bagiku tidak ada manusia yang mutlak feminim dan mutlak maskulin. Ada saat laki-laki bersikap seperti perempuan dan sebaliknya. Maklumlah, waktu memberiku kejutan—kau. Mungkin ekspresiku seperti itu karena suatu kegilaan wajar dari orang yang jatuh cinta (padamu). Ah, maksudku jatuh kagum—jika ada. Bagaimana denganmu?



Di awal, aku mengatakan mau mengirimkanmu hujan. Bukan apa-apa, tak lain karena aku suka hujan. Hujan punya banyak arti, bukan? Banyak penyair suka memunculkan hujan dalam puisinya, ada yang mengatakan hujan itu pedih, rindu, bahkan anugerah sekaligus derita. Tapi tak berarti aku suka bermain hujan-hujanan setiap hujan datang. Aku sering masuk angin kalau terlalu lama kena hujan. Mataku akan memerah-memerih, tubuh menggigil, sesekali bersin. Setelah itu aku akan berbaring, dan membungkus diri dengan selimut seperti lemper (jangan ditertawakan, ya).

Mungkin, nanti kau akan melihat hujan sebagai aku. Setiap hujan kau mengingatku, bukan berarti setiap hujan aku turut jatuh dari langit. Tentu berisiko kalau ribuan diriku yang berbobot puluhan kilogram ini jatuh. Malah kau akan mengusirku karena telah menghancurkan atap rumahmu, atap kamarmu, merusak pemandanganmu.

Sekarang, bagaimana aku bisa mengagumimu? Adalah waktu menuntunku untuk menurut ketika harus berlibur di pulau seberang—tempatmu berada. Andai aku mengenalmu sejak dulu, tentu tanpa diminta aku akan bersiap sesiap mungkin. Aku tak menyangka hari itu adalah sebuah awal, awal dari kau yang manis dan aku yang suka melamun hal sadis-sadis dipertemukan.

Bukankah kita cocok?

Acara makan-makan senja itu adalah saksi, namun kupakai saja senja sebagai saksi umum. Lebih puitis. Kau duduk menghadap ke mejaku, aku duduk agak menyamping. Sengaja agar aku bisa melihatmu yang membuatku penasaran sejak aku melihatmu pertama kali di sana. Kau menangkap mataku beberapa kali mencuri pandang, itu juga sengaja. Hanya kesadaranku yang lain sudah berenang di laut, tempat kita bertemu memang di pinggir laut. Wangi angin, wangi laut, degup ini kian kalut. Kau tahu?

Sesuai benakku, kita berjabat tangan, saling menyebut nama. Sepertinya, matahari senja yang terkenal indah itu salah terbenam. Justru ke matamu. Camar di hatiku, mendadak terbang ke mana-mana, ah.. tapi aku tak berani menatap matamu lama-lama, nyaliku sudah ditekan debar-debar dan desir-desir di dada. Jantungku seperti gendang mendendangkan lagu India, lalu tiba-tiba kita menari-nari di lapangan di depan rumah kita. Ya, kita. Ternyata kau tetangga!

Kita tak bertetanggaan langsung, ada rumah lain di antara rumah kita. Seolah dinding. Positifnya, aktivitasku yang aneh-aneh, gayaku jika di rumah, atau suaraku ketika bernyanyi tak kau tahu secara langsung. Paling tidak, kau pelan-pelan akan penasaran denganku. (Soal nyanyian, percayalah suaraku lumayan. Kapan-kapan aku bernyanyi untukmu).

Jika menjaga rahasia orang lain, aku tentu akan menjaganya serapat mungkin, kau bisa percaya padaku. Hanya untuk rahasia sendiri, kau bisa tertawa. Tentang aku padamu, sebentar saja sudah ada yang tahu. Mungkin aku cocok menjadi pemimpin, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Mengutamakan rahasia umum daripada rahasia sendiri. Miris.



Yang kuingat, waktu kita bertemu lagi esoknya. Itu pertemuan sebelum aku benar-benar tidak bertemu denganmu lagi. Aku bahkan belum sempat mengobrol, ataupun menanyakan kontakmu. Aku suka duduk di teras rumahku, menengok ke arah rumahmu sesekali, berharap kau ada di luar. Jika pergi, rumahmu yang kuperhatikan. Jam sepuluh pagi, lampu terasmu belum dimatikan. Apa kau sedang ke luar kota?

Untunglah kita sempat berfoto, setidaknya aku masih bisa menyimpan perasaan ini hingga batas kadaluarsa yang tertera di sebuah entah. Meskipun baru kusadar, kamera yang dipakai adalah kameramu. Bisakah kau kirimkan foto waktu itu? Tenanglah, tukang pelet yang kukenal tidak ada yang handal. Hehehe.. salam canda, aku suka kau apa adamu (lakukan pulalah padaku).

Aku sudah hampir tidak ingat lagi suaramu yang tak terlalu kudengar karena suara degup jantungku lebih kencang waktu itu. Tapi aku ingat mata dan senyummu, sangat istimewa dan memikat untukku. Setuju? (Jika banyak laki-laki yang tak setuju akan lebih baik lagi, berarti mereka ciut mendekatimu).

Begitulah. Waktu yang mempertemukan, waktu pula yang menyuruhku pulang. Setidaknya surat ini membukti bahwa tidak ada yang sia-sia. Kita akan bertemu lagi dan aku memilih mimpi sebagai gladi bersih untuk pertemuan berikutnya. Dan surat ini mungkin akan kucetak untukmu, menyelipkannya di dalam sabun dan kukirimkan padamu. Ayo.. berapa lamakah sampai kau temukan suratku ini? Hahaha..

Kusudahi dulu, ya? Kupikir sudah terlalu panjang untuk kesimpulan hatiku yang singkat. Dan ketika aku benar-benar jatuh cinta. Akan ada surat yang amat lebih dari ini.
Kusertakan kau pada doaku, terima saja ya? (maksa). Semoga kau tak menyesal kukagumi.

……….
Salam dariku,
Pencinta rindu, pencinta kamu.
(pengagummu, maksudku)

***

Sebuah senyum melengkung dari bibir Malya, ia menarik napasnya dalam-dalam dan menahannya sebelum akhirnya dihembuskan, seolah membebaskan semua udara yang sejak tadi dikekangnya. Ia tersipu, sesekali melirik ke arah rumah di sebelahnya. Telah diketahui siapa yang begitu bisa membuatnya tersenyum sendiri pagi-pagi. Siapa sangka, lelaki yang menjadi tetangganya selama ini diam-diam memendam perasaan padanya.


Seseorang membuka pintu, keluar seorang lelaki membawa sebuah buku. Tak jauh dari sana, Malya memperhatikannya. Lelaki yang mengiriminya surat baru saja keluar dan duduk di teras rumah, sama seperti yang dilakukan Malya. Sesekali ia menangkap mata lelaki itu tengah menjurus padanya. Dan jika sudah begitu, salah satu dari mereka memulai saling menyapa dengan melempar senyuman.

Deru mesin yang halus terdengar, sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan rumah Malya. Spontan Malya berdiri dan berjalan ke arah mobil, nampak seorang laki-laki menanti di dalam. Orang yang ditunggu Malya untuk menjemputnya sejak tadi telah tiba, kekasihnya sendiri. Di samping pintu mobil, Malya terdiam sejenak hendak melihat lagi tetangga yang sedang membaca atau mungkin berpura-pura membaca buku sambil sesekali melirik Malya. Malya menghela napasnya lagi, lalu masuk ke dalam mobil.

“Sekembalinya aku, akan datang rayuan balasan untukmu, hai tetangga.”

Mobil berlalu pergi.
READ MORE - Surat untuk tetangga

Ketika Aku Tak Bisa Tidur

:kau yang kutemui di sela senja itu

aku tahu ini sudah malam --dinihari bahkan
tapi yang kuingat malah senja, sejewantah
siluet meredup-nyala pertemuan kita.
tapi tetap saja ini malam, dan terlalu cepat
untuk senja memerah pipinya kupuji-puja
sekarang. pun itu karena kau ada. ada karena kau.

aku ingin tidur, sebab aku mengantuk. hanya
ada yang menyalak di bawah bantalku yang
botak, seolah tak sudi untuk kepala diletak.
lalu kuangkat bantalku, ada rindu meringkuk
seperti janin di rahim ibu. janin usil yang merubah
jenis kelaminnya tiap lima menit waktu. rindu
mungil nan gempal, rindu yang tak mampu
kutahan; untuk kucubiti pelan-pelan

rindu itu mendadak berteriak. macam merak
dicolek-goda sekelompok gagak yang bersaing
dengan setengger jalak. hingga riuh begitu
meledak. pekik mengacak kantung mataku
yang remang. aku jadi rindu suaramu, rindu
apa-apa tentang kau. kudamba.

aku ingin tidur, tapi waktu masih saja berjalan
seperti langkah kakimu yang menyisa jejak
di mataku. menyisa waktu yang berceceran
dan kuhitung-hitung; satu rindu, dua rindu
satu waktu, rindu berlalu, tiga rindu, em...
...zzzz....



===
Malang, 17102010, 02.36 WIB
Andi M E Wirambara
(dengan mata yang menyipit)
READ MORE - Ketika Aku Tak Bisa Tidur

Yang Sedang Membicarakan Rindu (puisi kolaborasiku bersama Timur Matahari)

/1/
kepada rindu kutelan tempuh pada sekian utara. matahari ikut-ikutan melaju ke utara. panas merepih aku, keringat menjadi batu. batu jadi panas.

kepada beku kelu yang rapat dikulum senyum, sekian aku menutup katup rapat bayang-bayang yang usang, kepada asing yang mengerang.

katup itu, masih tak kuat. bayang semakin lindap, ia lenguh. maka kurapal setiap waktu yang merumbai-rumbai, melipat-lipat rindu. menyumpal resah yang menyembilu.

/2/
nun di ujung lautan, yang menari menarilah, yang bernyanyi bernyanyilah, sebelum kita karam ke dalam karang, sebelum kita mati ditimpa pelangi, akulah, yang ingin kau tak menjadi sekedar, akulah, yang ingin kembali ke pelukan.

dan tiada rasa, rindu menjadi hening. hening yang kuayun lalu menggerincing. mendengungi daun-daun, mengaluni sebentuk senyum yang lalu membongkah selaik kapas-kapas. menyapu tetes harap yang retas.

/3/
sampai ini kita melafal rindu dalam lafadz yang tidak begitu kita mengerti, kadang kau menjadi hanyut ditubuhku yang alir, dan terkadang kau harus menjadi serpih pasir ditubuhku yang pantai, kita mengerdil diri dalam pasung tubuh yang kadang tak acuh, ah. aku semakin lelah menjengukmu sayang, apalagi ziarah kedalam lautanmu yang semakin kabut.

lalu apalah di balik ombak-ombak itu, di sana aur mengapung, seperti ingatanku jatuh pada lesung yang santun. ah, lupakan laut, sayang. sebab aku takut rindu tak akan pernah mau berhenti membenam. dalam.
demi kata, aku sudah sering

tenggelam.


===
Indonesia Raya, 2010
Andi M E Wirambara – Saswadana Bambang Harahap
READ MORE - Yang Sedang Membicarakan Rindu (puisi kolaborasiku bersama Timur Matahari)

Ini INDOnesia kaMIE

ini Indonesia kami, baca saja di bungkusan
tempat kami menyimpan masa kecil, ketika
dinasehati untuk mengerti
apa itu nutrisi

ini Indonesia kami, hal yang takkan kami lupa
di tiap perjalanan. di sela bermacam perjuangan
dan segala hadangan yang hadir seolah-olah
takdir yang takkan pernah berubah

ini Indonesia kami, dicintai anak negeri dan pelajar
pun dicinta perantau yang belajar untuk bersabar
menanti
tanggal-tanggal yang sakral

ini Indonesia kami, bisa berlagu dan bernyanyi-nyanyi
menggubah kreatifitas dan seni. penuh instrumental
yang mampu buat orang jadi pemimpin. tempat jutaan
rakyat menanti perubahan

ini Indonesia kami, tempat diajarkan
bagaimana jadi dermawan
longsor, gempa dan macam bala meluruh
sekian airmata dan masa depan. Indonesia kami
siap untuk melakban setiap harap dan doa ke dalam
kardus dan dilontar dari langit --ke tenda pengungsian--

apa yang kalian takuti, dari
Indonesia kami?

teroris itu cerita yang sungguh lain
Indonesia kami tidak merusak apalagi
mengganggu kesehatan dan ketentraman
cukup sedikit daya tahan;
Indonesia kami aman!


==
Malang, 13102010
Andi M E Wirambara (seraya merebus air di dapur)
READ MORE - Ini INDOnesia kaMIE

Kelas Tadi Pagi


"dalam rangka otonomi daerah, regulasi
berdasar pada peraturan daerah"


aku tak dengar, lebih-lebih untuk
memperhatikan. di ruang kelas, sekian
mulut menganga, membuat teorika yang
menggaung di telinga. seperti aku tengah
dengar namamu menggema-gema di dada

mendadak, buku menatapku sinis. berbeda
sungguh dengan kilat pandangmu yang manis
aku acuh saja, memijati pelipis --yang tak kutahu
ternyata begitu tipis. seolah meniru-niru rindu
milikku di sudut-sudut kian waktu kian kikis.

aku meruncingkan pensil. mencelupkan ujungnya
pada mata mata buku yang menatapku. ia lalu
menangis --keluar darah. aku membuka bukunya
meemukan puisi yang kuberi judul dengan namamu
yang perlahan luntur, seperti darah, seperti airmata
yang mengucur

di depan, papan tulis membisik isyarat, agar aku
terus mencatat apa saja yang kuingat. mengalihku
dari rindu cekat;

"dalam rangka mempelajari wewenang pemerintah
aku tak mengerti apa-apa soal aktivitas daerah. seperti
mereka takkan paham soal rindu yang
berdarah-darah."


=====

Malang, 15102010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Kelas Tadi Pagi

Sedikit yang Menyembul di Permukaan Malamku

/1/
Malam-malam oktober memang cukup mengherankan. Wangi hujan yang pensiun pelan-pelan, kantuk yang suka lupa bertandang. Dan aku dibiarkan menyentil-nyetil kelopak mataku sendiri, darisana berguguran rindu. Aih, rindu lagi. Aku mengacak-acak rambutku sendiri, rontoklah luka yang cukup gatal ternyata.

/2/
Kuakui saja. Jika tak bisa tidur aku selalu mencopoti kedua bolamataku, memutar-mutar hitam bulatannya seperti menggeser slide, lalu seolah mematut-matut benua pada globe yang banyak meluput sekian pulau. Aku temui rambut hitammu, yang panjang dan halus seolah berubah menjadi perosotan tempat aku bermain-main dengan kenangan. Lalu aku lelah, terpulas di sana, tak peduli sibak tanganmu sewaktu-waktu mengebas-ngebas.

/3/
Pernik, pijar mungil-mungil
Engkauhkah?

Aku tahu kau bukan kunang-kunang. Namun ada cahaya yang begitu ramah, begitu menggoda tuk kujamah. Namun waktu terasa lindap. Dan cahaya kian surut. Kian larut.

/4/
Selayaknya turnamen sepakbola, ada yang siap saling membaca jika dua kubu saling bersitatap. Aku juga begitu. Hanya aku tak punya agenda untuk menanda kapan suatu debar akan tiba-tiba menampar dada. Jangan heran, aku tak siap jika harus menolaknya. Jangan pula ajak aku saling baku. Aku hanya tahu suatu pertaruhan, mempertaruhkan rindu. Lalu kita lemparkan uang logam yang sisinya --ternyata-- tak ada yang berbeda. Rindu semua.

/5/
Kalau aku mengagumimu, bersiaplah untuk kucintai. Selalu ada jalan ke roma, tapi tidak untuk ke Cordoba. Seperti halnya kau dan hatimu yang mampu kutempuh dari sekian penjuru. Kanan-kiri perjalanan mempesona sungguh, aku mencinta kemudian. Hanya sampai sekarang --di mana pintunya-- aku masih tak tahu.

/6/
Aku rindu
Dengan segala
Kepurbaan yang kujaga


===
Malang, 13102010
Andi M E Wirambara
READ MORE - Sedikit yang Menyembul di Permukaan Malamku